1. MASYARAKAT PERKOTAAN,
ASPEK-ASPEK POSITIF DAN NEGATIF
A.
PENGERTIAN
MASYARAKAT
Sebelum
kita bicara lebih lanjut masalah masyarakat,
baiklah kita tinjau dulu definisi
tentang masyarakat. Definisi adalah
uraian ringkas untuk
memberikan batasan-batasan
mengenai sesuatu persoalan atau pengertian ditinjau daripada analisis. Analisis
Inilah yang memberikan arti yang
jernih dan kokoh dari sesuatu
pengertian.
Mengenai arti
masyarakat, baiklah di
sini kita kemukakan
beberapa definisi mengenai
masyarakat dari para
sarjana, seperti misalnya :
1) R.
Linton: Seorang ahli antropologi mengemukakan, bahwa masyarakat adalah setiap kelompok
manusia yang telaha cukup lama hidup dan bekerjasama, sehingga
mereka ini dapat
mengorganisasikan dirinya
berpikir tentang dirinya
dalam satu kesatuan sosial dengan
batas-batas tertentu.
2) M.J.
Herskovits : Mengatakan
bahwa masyarakat adalah
kelompok individu yang
diorganisasikan dan mengikuti satu cara hidup tertentu.
3) J.L.
Gillin dan J.P.
Gillin : Mengatakan
bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar dan
mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan
yang sarna. Masyarakat
itu meliputi pengelompokan-pengelompokan
yang lebih kecil.
4) S.R.
Steinmetz: Seorang sosiolog
bangsa Belanda mengatakan,
bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar, yanag meliputi
pengelompokan-pengelompokan manusia yang
lebih kecil, yang mempunyai perhubungan
yang erat ada teratur.
5) Hasan Shadily : mendefinisikan masyarakat
adalah golongan besar atau kecil
dari beberapa manusia, yang dengan pengaruh bertalian secara golongan dan mempunyai
pengaruh kebatinan satusama
lain.
Kalau
kita mengikuti definisi Linton,
maka masyarakat itu timbul dari setiap kumpulan individu,
yang telah lama
hidup dan bekerja sarna dalam waktu yang
cukup lama. Kelompok
manusia yang dimaksud
di atas yang belum terorganisasikan mengalami
proses yang fundamental, yaitu :
a) Adaptasi
dan organisasi dari
tingkah laku para
anggota.
b) Timbul
perasaan berkelompok secara
lambat laun atau I
esprit de cerpa.
Proses ini
biasanya tanpa disadari
dan diikuti oleh
semua anggota kelompok dalam
suasana trial and
error. Dari uraian
terse but di atas
dapat kita lihat bahwa
masyarakat dapat mempunyai
arti yang luas
dan arti yang sempit.
Dalam arti luas masyarakat
dimaksud keseluruhan hubungan-hubungan dalam hidup
bersama dan tidak
dibatasi oleh lingkungan, bangsa
dan sebagainya. Atau dengan
kat a lain: kebulatan dari
semua perhubungan dalam hidup bermasyarakat. Dalam
arti sempit masyarakat
dimaksud sekelompok
manusia yang dibatasi
oleh aspek-aspek tertentu,
misalnya teritorial, bangsa, golongan dan
sebagainya. Umpama :
ada masyarakat Jawa,
ada masyarakat Sunda,
masyarakat Minang,
masyarakat mahasiswa, masyarakat
petani, dan sebagainya, dipakailah kata masyarakat
itu dalam arti
sempit.
Mengingat definisi-definisi masyarakat atersebut di
atas maka dapat diambil kesimpulan,
bahwa masyarakat harus
mempunyai syarat-syarat sebagai berikut :
a) Harus ada pengumpulan manusia,
dan harus banyak,
bukan pengumpulan binatang;
b) Telah
bertempat tinggal dalam
waktu yang lama
di suatu daerah tertentu;
c) Adanya aturan-aturan atau
undang-undang yang mengatur
mereka untuk menuju kepada
kepentingan dan tujuan
bersama.
Dipandang dari
cara terbentuknya, masyarakat dapat
dibagi dalam :
1)
Masyarakat paksaan, misalnya
: negara, masyarakat tawanan
dan lain
lain.
2) Masyarakat merdeka,
yang terbagi dalam :
(a) Masyarakat
natuur, yaitu masyarakat
yang terjadi dengan
sendirinya, seperti
gerombolan (horde), suku
(starn), yang
bertalian karena hubungan darah
atau keturunan. Dan
biasanya masih sederhana
sekali kebudayaannya.
(b) Masyarakat
kultur, yaitu masyarakat
yang terjadi karen a kepentingan
Sebenarnya pembagian
masyarakat dalarn 2 tipe itu hanya untuk
keperluan penyelidikan
saja. Dalam satu mas
a sejarah antropologi, masyarakat yang sederhana itu
menjadi obyek penyelidikan dari
antropologi, khususnya
antropologi sosial. Sedang
masyarakat yang kompleks.
adalah terjadi obyek penyelidikan sosiologi. Sekarang ruang
lingkup penyelidikan antropologi dan
sosiologi tidak mempunyai batas-batas yang jelas. Hanya
pada metode-metode penyelidikan ada beberapa
perbedaan. Antropologi sosial
mengarahkan penyelidikannya
ke arah
perkotaan, sedang sosiologi
melebarkan studinya ke daerah
pedesaan. Sebenarnya dua
tipe masyarakat itu berbeda
secara gradual saja,
bukan secara prinsipil.
B.
MASYARAKAT PERKOTAAN
Masyarakat perkotaan
sering disebut juga urban community.
Pengertian masyarakat kota lebih
ditekankan pada sifat-sifat kehidupannya
serta ciri-ciri kehidupannya
yang berbeda dengan
masyarakat pedesaan.
Perhatian khusus
masyarakat kota tidak
terbatas pada aspek-aspek
seperti pakaian, makanan dan
peru mahan. tetapi rnempunyai
perhatian lebih luas lagi.
Orang-orang kota sudah
memandang penggunaan kebutuhan hidup, artinya oleh
hanya sekadarnya atau
apa adanya. Hal
ini disebabkan oleh karena pandangan
warga kota sekitarnya. Kalau
menghidangkan makanan
misalnya, yang diutamakan
adalah bahwa yang menghidangkannya mempunyai kedudukan sosial
yang tinggi. Bila
ada tamu misalnya, diusahakan menghidangkan makanan-makanan yang
ada dalam kaleng. Pada
orang-orang desa ada kesan,
bahwa mereka masak
makanan itu sendiri
tanpa memperdulikan apakah
tamu-tamunya suka at au
tidak. Pada orang
kota, makanan yang dihidangkan harus kelihatan mewah dan
tempat penghidangannya
juga harus mewah
dan terhormat. Di sini
terlihat perbedaan penilaian.
C. PERBEDAAN DESA DAN KOTA
Ada beberapa
ciri yang dapat
dipergunakan sebagai petunjuk
untuk membedakan antara desa dan kota. Dengan
melihat pcrbedaan-perbedaan yang ada
mudah-rnudahan akan dapat
mengurangi kesulitan dalam
menentukan apakah suatu masyarakat
dapat disebut sebagai
masyarakat pedesaan atau masyarakat perkotaan.
Ciri-ciri tersebut
antara lain:
1)
jumlah dan kepadatan
penduduk;
2)
lingkungan hidup;
3)
mata pencaharian;
4)
corak kehidupan sosial;
5)
stratifikasi sosial;
6)
mobilitas sosial;
7)
pola interaksi sosial;
8)
solidaritas sosial; dan
9)
kedudukan dalam hierarki
sistem administrasi nasional.
Meskipun tidak
ada ukuran pasti,
kota memiliki penduduk yanag jumlahnya lebih
ban yak dibandingkan desa.
Hal ini mempunyai
kaitan erat dengan kepadatan
penduduk, yaitu jumlah
penduduk yang tinggal
pada suatu luas wilayah
tertentu, misalnya saja jumlah
per KM " (kilometer persegi)
atau jumlah per hektar.
Kepadatan penduduk ini
mempunyai pengaruh yang
besar terhadap pol a pembangunan perumahan. Di
desa jumlah penduduk
sedikit, tanah untuk keperluan
perumahan cenderung ke
arah horisontal, jarang
ada bangunan rumah bertingkat. J adi
karena pelebaran samping tidak memungkinkan maka
untuk memenuhi bertambahnya kebutuhan
perumahan, pengembangannya
mengarah ke atas.
2. HUBUNGAN DESA DAN KOTA.
Masyarakat pedesaan dan perkotaan
bukanlah dua komunitas yang terpisah sama
sekali satu sama
lain. Bahkan dalam
keadaan yang wajar
di antara keduanya terdapat
hubungan yang erat, bersifat ketergantungan, karena
di antara mereka saling
membutuhkan. Kota tergantung
pada desa dalam memenuhi kebutuhan warganya akan
bahan-bahan pangan seperti beras, sayur mayur, daging dan ikan.Desa juga
merupakan sumber tenaga kasar bagi jenis jenis pekerjaan tertentu di kota,
misalnya saja buruh bangunan dalam proyek proyek perumahan,
proyek pembangunan at au
perbaikan jalan raya
atau jembatan dan tukang becak. Mereka ini biasanya adalah
pekerja-pekerja musiman. Pada saat
musim tan am mereta,
sibuk bekerja di
sawah. Bila pekerjaan di bidang
pertanian mulai menyurut,
sementara menunggu masa panen mereka merantau ke kota terdekat
untuk melakukan pekerjaan apa saja yang tersedia.
3. ASPEK POSITIF DAN NEGATIF
Untuk menunjang
aktivitas warganya serta
untuk memberikan suasana aman, tenteram dan nyaman pada
warganya, kota dihadapkan pada keharusan menyediakan berbagai fasilitas
kehidupan dan keharusan untuk mengatasi berbagai masalah
yang timbul sebagai
akibat aktivitas warganya.
Dengan kata lain kota harus berkembang.
Perkembangan kota
merupakan manifestasi dari pola kehidupan sosial, ekonomi, kebudayaan
dan politik. Kesemuanya ini akan dicerminkan dalam komponen-komponen yang membentuk struktur kota tersebut. lumlah
dan kualitas komponen suatu kota sangat ditentukan oleh tingkat perkembangan dan pertumbuhan
kota tersebut. Secara umum dapat dikenal bahwa suatu lingkungan perkotaan,
seyogyanya mengandung 5 unsur yang meliputi :
a) Wisma
: Unsur ini merupakan
bagian ruang kota
yang dipergunakan untuk tempat
berlindung terhadap alam sekelilingnya,
serta untuk melangsungkan
kegiatan-kegiatan sosial dalam
keluarga. Unsur wisma ini mengharapkan :
1) Dapat mengembangkan daerah
peru mahan penduduk yang
sesuai pertambahan kebutuhan penduduk
untuk masa mendatang;
2) Memperbaiki keadaan
lingkungan perumahan yang
telah ada agar dapat mencapai standar mutu kehidupan
yang layak, dan memberikan nilai-nilai
lingkungan yang aman dan
menyenangkan.
b) Karya: Unsur
ini merupakan syarat
yang utama bagi
eksistensi suatu kota, karena
unsur ini merupakan jaminan
bagi kehidupan bermasyarakat.
Penyediaan lapangan
kerja bagi suatu
kota dapat dilakukan
dengan cara menyediakan ruang; misalnya
bagi kegiatan perindustrian, perdagangan, pelabuhan, terminal
serta kegiatan-kegiatan kerja
lainnya.
c) Marga: Unsur
ini merupakan ruang
perkotaan yang berfungsi
untuk menyelenggarakan hubungan antara
suatu tempat dengan
tempat lainnya di dalam kota
(hubungan internal), serta
hubungan an tara kota
itu dengan kota-kota atau daerah
lainnya (hubungan eksternal). Di
dalam unsur ini termasuk :
1) Usaha
pengembangan jaringan jalan
dan fasilitas-fasilitasnya (termi nal, parkir,
dan lain-lain) yang
memungkinkan pemberian pelayanan seefisien mungkin;
2) Pengembangan jaringan
telekomunikasi sebagai suatu
bagian dari sistem transportasi dan
komunikasi kota secara
keseluruhan.
d) Suka: Unsur
ini merupakan bagian
dari ruang perkantoran untuk memenuhi kebutuhan
penduduk akan fasilitas-fasilitas hiburan,
rekreasi, pertamanan,kebudayaan
dan kesenian.
e) Penyempurnaan: Unsur
ini merupakan bagian
yang penting bagi
suatu kota, tetapi belum
secara tepat tercakup
ke dalam ke empat unsur
di atas, termasuk fasilitas keagamaan,
pekuburan kota, fasilitas
pendidikan dan kesehatan, jaringan
utilitas umum.
Kelima unsur
pokok ini merupakan pola
pokok dari kornponen-komponen
perkotaan yang kuantitas dan
kualitasnya kemudian dirinci
di dalam perencanaan suatu
kota tertentu sesuai dengan
tuntutan kebutuhan yang
spesifik untuk kota terse but
pada saat sekarang
dan masa yang
akan datang.
Oleh
karena itu maka kebijaksanaan perencanaan
dan mengembangkan kota harus dapat dilihat dalam kerangka pendekatan
yang luas yaitu pendekatan regional. Rumusan pengembangan kota seperti itu tergambar
dalam pendekatan penanganan masalah kota sebagai berikut :
1) Menekan angka kelahiran;
2) Mengalihkan
pusat pembangunan pabrik (industri)
ke pinggiran kota;
3) Membendung
urbanisasi;
4) Mendirikan
kota satelit di mana
pembukaan usaha relatif rendah;
5) Meningkatkan fungsi
dan peranan kota-kota kecil
atau desa-desa yang telah ada di
sekitar kota besar;
6) Transmigrasi
bagi warga yang miskin dan tidak mempunyai pekerjaan.
Kota
secara internal pada hakikatnya merupakan
satu organisme, yakni kesatuan integral
dari tiga komponen, meliputi
"Penduduk, kegiatan usaha dan wadah" ruang fisiknya.
Ketiganya saling berkait, pengaruh-mempengaruhi, oleh karenanya suatu pengembangan yang tidak seimbang antara ketiganya, akan
menimbulkan kondisi kota yang tidak positif, antara lain semakin menurunnya kualitas
hidup masyarakat kota.
Dengan kat a lain,
suatu perkembangan kota harus mengarah pada penyesuaian lingkungan fisik
ruang kota dengan perkembangan sosial
dan kegiatan usaha masyarakat kota.
Di
pihak lain, kota mempunyai juga peran/fungsi esternal, yakni seberapa jauh fungsi
dan peran kota
tersebut dalam kerangka
wilayah dan daerah daerah yang dilingkupi dan
melingkupinya, baik dalam skala regional maupun nasional. Dengan pengertian ini
diharapkan bahwa suatu pengembangan kota
tidak mengarah pad a
satu organ tersendiri
yang terpisah dengan
daerah sekitarnya, karena keduanya
saling pengaruh-mempengaruhi.
4.
MASYARAKAT PEDESAAN
A.
PENGERTIAN DESA/PEDESAAN
Yang dimaksud
dengan desa menurut
Sutardjo Kartohadikusuma
mengemukakan sebagai berikut : Desa
adalah suatu kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat
pemerintahan sendiri. Menurut
Bintarto desa merupakan
perwujudan atau kesatuan
geografi, sosial, ekonomi, politik
dan kultural yang
terdapat di situ
(suatu daerah) dalam hubungannya
dan pengaruhnya secara timbal-balik dengan daerah lain. Sedangkan menurut Paul H. Landis: Desa adalah penduduknya kurang dari 2.500 jiwa.
Dengan
ciri-cirinya sebagai berikut :
a) Mempunyai
pergaulan hidup yang saling kenai mengenal antara ribuan
jiwa.
b) Ada pertalian perasaan yang sarna tentang
kesukaan terhadap kebiasaan.
c) Cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat
dipengaruhi
alam seperti : iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan.
Masyarakat pedesaan
ditandai dengan pemilikan
ikatan perasaan batin yang kuat sesama warga desa, yaitu
perasaan setiap wargaJanggota masyarakat yang amat kuat yang hakikatnya, bahwa
seseorang merasa merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahkan
dari masyarakat di mana
ia hidup dicintainya serta mempunyai perasaan bersedia untuk berkorban
setiap waktu demi masyarakatnya atau
anggota-anggota masyarakat, karena beranggapan sama sarna sebagai anggota masyarakat yang
saling mencintai saling menghormati, mempunyai
hak tanggung jawab yang sarna terhadap
keselamatan dan kebahagian bersama
di dalam masyarakat.
Adapun
yang menjadi ciri-ciri masyarakat pedesaan
antara lain sebagai berikut :
a) Di
dalam masyarakat pedesaan di antara warganya mempunyai hubungan yang lebih
mendalam dan erat
bila dibandingkan dengan
masyarakat
pedesaan lainnya
di luar batas-batas
wilayahnya;
b) Sistem
kehidupan umumnya berkelompok dengan
dasar kekeluargaan
(Gemeinschaft at au
paguyuban).
c) Sebagian besar
warga masyarakat pedesaan hidup
dari pertanian.
Pekerjaan-pekerjaan yang
bukan pertanian merupakan
pekerjaan sambilan
(part time)
yang biasanya sebagai
pengisi waktu luang.
d) Masyarakat tersebut
homogen, seperti dalam
hal mata pencarian,
agama, adat-istiadat dan sebagainya.
Oleh karena
anggota masyarakat mempunyai
kepentingan pokok yang hampir
sarna, maka mereka
selalu bekerja sarna untuk
mencapai kepentingan
kepentingan mereka. Seperti
pada waktu mendirikan
rumah, upacara pesta perkawinan, memperbaiki jalan
dcsa, membuat saluran
air dan sebagainya, dalam hal-hal
tersebut mereka akan
selalu bekerjasama. Bentuk-bentuk kerjasama dalam
masyarakat sering diistilahkan dengan gotong royong
dan tolong-menolong. Pekerjaan gotong-royong pada
waktu sekarang lebih populer
dengan istilah kerja bakti
misalnya memperbaiki jalan,
saluran air, menjaga
keamanan desa (ronda malam)
dan sebagainya.
Sedang mengenai
macamnya pekerjaan gotong-royong (kerja
bakti) itu ada dua
macam, yaitu :
a) Kerja
bersama untuk pekerjaan-pekerjaan yang
timbulnya dari inisiatif warga masyarakat
itu sendiri (biasanya
diistilahkan dari bawah).
b) Kerjasama untuk
pekerjaan-pekerjaan yang inisiatifnya tidak
timbul dari masyarakat itu
sendiri berasal dari
luar (biasanya berasal
dari atas).
Kerjasama jenis
pertama biasanya, sungguh-sungguh dirasakan kegunaannya bagi mereka,
sedang jenis kedua biasanya
sering kurang dipahami kegunaannya.
B. HAKIKAT DAN SIFAT MASYARAKAT PEDESAAN
Seperti
dikemukakan oleh para ahli atau sumber
bahwa masyarakat In donesia lebih
dari 80% tinggal
di pedesaan dengan
mata pencarian yang bersifat agraris. Masyarakat pedesaan
yang agraris biasanya dipandang antara sepintas kilas dinilai oleh orang-orang
kota sebagai masyarakat tentang damai, harmonis
yaitu masyarakat yang
adem ayem, sehingga
oleh orang kota dianggap sebagai
ternpat untuk melepaskan
lelah dari segala
kesibukan, keramaian dan
keruwetan atau kekusutan pikir.
Maka
tidak jarang orang kota melepaskan segala kelelahan dan kekusutan pikir
tersebut pergilah mereka ke luar kota, karena merupakan tempat
yang adem ayem, penuh ketenangan. Tetapi sebetulnya ketenangan
masyarakat pedesaan itu hanyalah terbawa oleh sifat masyarakat itu yang oleh
Ferdinand Tonies diistilahkan dengan masyarakat gemeinschaft (paguyuban). Jadi
Paguyuban masyarakat itulah yang menyebabkan orang-orang kota menilai
sebagai masyarakat itu tenang
harmonis, rukun dan
damai dengan julukan
masyarakat yang adem ayem.
Tetapi
sebenarnya di dalam masyarakat pedesaan kita ini mengenal bermacam-macam gejala,
khususnya hal ini merupakan sebab-sebab
bahwa di dalam masyarakat
pedesaan penuh dengan
ketegangan-ketegangan sosial.
Menurut Mubiyarto petani
Indonesia mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
a) Petani
itu tidak kolot, tidak
bodoh atau tidak
malas. Mereka sudah
bekerja keras sebisa-bisanya agar
tidak mati kelaparan.
b) Sifat
hidup penduduk desa
at au para petani kecil
(petani gurem) dengan
rata-rata luas sawah
± 0,5 ha yang
serba kekurangan adalah
nrimo (menyerah kepada takdir)
karena merasa tidak berdaya.
Melanjutkan
pandangan orang kota terhadap desa itu bukan tempat bekerja melainkan untuk ketentraman adalah tidak tepat karena justru bekerja keras merupakan kebiasaan
petani agar dapat hidup.
Menurut BF.
Hosolitz bahwa untuk
membangun suatu masyarakat
yang ekonominya terbelakang itu harus
dapat menyediakan suatu
sistem perangsang yang dapat
menarik suatu aktivitas
warga masyarakat itu dan harus sedemikian rupa sehingga
dapat memperbesar kegiatan
orang bekerja, memperbesar keinginan orang
untuk menghernat, menabung,
keberanian mengambil resiko, dalam hal
mengubah seeara revolusioner eara-eara
yang lama yang
kurang produktif.
C. SISTEM NILAI BUDAYA PETANI INDONESIA
Para ahli
disinyalir bahwa di
kalangan petani pedesaan
ada suatu eara berfikir dan
mentalitas yang hidup
dan bersifat religio-magis.
Sistem nilai
budaya petani Indonesia
antara lain sebagai
berikut :
a) Para
petani di Indonesia
terutama di lawn
pada dasarnya menganggap bahwa hidupnya itu sebagai
sesuatu hal yang
buruk, penuh dosa, kesengsaraan. Tetapi itu
tidak berarti bahwa
ia harus menghindari hid up yang nyata
dan
menghindarkan
diri dengan bersembunyi di
dalam kebatinan atau dengan bertapa,
bahkan sebaliknya wajib
menyadari keburukan hidup itu dengan
jelas berlaku prihatin
dan kemudian sebaik baiknya dengan
penuh usaha atau
ikhtiar.
b) Mereka beranggapan bahwa
orang bekerja itu
untuk hidup, dan
kadang
kadang untuk
meneapai kedudukannya,
e) Mereka
berorientasi pada masa
ini (sekarang), kurang
memperdulikan masa depan,
mereka kurang mampu
untuk itu. Bahkan kadang-kadang ia rindu masa lampau,
mengenang kekayaan masa
lampau (menanti datangnya kembali
sang ratu adil yang
membawa kekayaan bagi
mereka).
d) Mereka
menganggap alam tidak
menakutkan bila ada
beneana alam at au bencana lain itu
hanya merupakan sesuatu
yang harus wajib
diterima kurang adanya agar peristiwa-peristiwa maeam
itu tidak berulang kembali. Mereka cukup saja dengan
menyesuaikan diri dengan alam,
kurang adanya usaha untuk
menguasainya.
e) Dan
untuk menghadapi alam
mereka cukup dengan
hidup bergotong royong, mereka
sadar bahwa dalam
hidup itu pada hakikatnya
tergantung kepada sesamanya.
Mentalitas para
petani seperti di atas
perlu dikaji dan
diadakan penelitian dan
pembahasan secara ilmiah dan
mendalam agar dapat diarahkan kepada keberhasilan pembangunan yang
sekarang ini sedang
giat-giatnya kita laksanakan.
Kurang lebih
81,2% dari Wilayah
Indonesia bertempat tinggal
di desa. Partisipasi masyarakat
pedesaan am at diperlukan bagi
hasilnya pembangunan dan
sekaligus akan dapat
meningkatkan penghidupan masyarakat
di pedesaan.
Setiap Program
Pembangunan desa dimaksudkan
untuk membantu, dan memacu
masyarakat desa membangun
pelbagai sarana dan
prasarana desa yang diperlukan. Langkah
ataupun kebijaksanaan yang
akan diambil oleh pemerintah, dalam
melaksanakan pembangunan perlu
diletakkan dalam satu kesatuan dengan
daerah kota dalam
rangka pengembangan wilayah
yang terpadu.
D. UNSUR-UNSUR DESA
Daerah, dalam
arti tanah-tanah yang produktif
dan yang tidak, beserta penggunaannya, termasuk juga
unsur lokasi, luas dan batas yang
merupakan lingkungan geografis setempat. Penduduk,
adalah hal yang meliputi jumlah pertambahan, kepadatan, persebaran dan mata pencaharian penduduk
desa setempat. Tata
kehidupan, dalam hal ini pola pergaulan dan ikatan-ikatan pergaulan warga desa.
Jadi menyangkut seluk-beluk kehidupan
masyarakat desa (rural society). Ketiga
unsur desa ini tidak
lepas satu sarna lain,
artinya tidak berdiri sendiri, melainkan
merupakan satu kesatuan. Unsur daerah, penduduk
dan tata kehidupan merupakan suatu kesatuan hidup atau "Living unit".
Unsur
lain yang termasuk
unsur desa yaitu,
unsur letak. Letak
suatu desa pada umumnya
selalu jauh dari
kota at au dari
pusat pusat keramaian. Peninjauan ke desa-desa atau perjalanan ke desa
sarna artinya dengan menjahui kehidupan di
kota dan lebih
mendekati daerah-daerah yang
monoton dan sunyi. Desa-desa yang
pad a perbatasan kota
mempunyai kemampuan
berkembang yang lebih
ban yak dari pad a desa-desa di
pedalaman.
Unsur letak
menentukan besar-kecilnya isolasi
suatu daerah terhadap daerah-daerah lainnya.Desa yang
terletak jauh dari
batasan kota mempunyai tanah-tanah pertanian
yang luas. Ini disebabkan karena
penggunaan tanahnya lebih banyak
dititik beratkan pada
tanaman pokok dan beberapa
tanaman perdagangan
~aripada gedung-gedung atau
peru mahan. Penduduk
merupakan unsur yang
penting bagi desa.
"Potential man
power" terdapat di desa
yang masih terikat
hidupnya dalam bidang
pertanian.
Faktor lingkungan geografis memberi pengaruh juga
terhadap kegotongroyongan
ini misalnya saja:
a. Faktor
topografi setempat yang
memberikan suatu ajang
hid up dan suatu bentuk adaptasi
kepada penduduk.
b. Faktor
iklim yang dapat
memberikan pengaruh positif
maupun negatif terhadap penduduk
terutama petani-petaninya.
c. Faktor
bencana alam seperti
letusan gunung, gempa
bumi, banjir dan sebagainya yang harus dihadapi
dan dialami bersama.
Jadi persarnaan
nasib dan pengalaman menimbulkan hubungan
sosial yang akrab.
E. FUNGSI DESA
Pertama, dalam hubungannya dengan kota, maka desa yang merupakan "hinterland" atau daerah
dukung berfungsi sebagai suatu daerah
pemberian bahan makanan pokok seperti padi, jagung, ketela, di samping
bahan makanan lain seperti kacang,
kedelai, buah-buahan, dan
bahan makanan lain
yang berasal dari hewan.
Kedua, desa
ditinjau dari sudut
potensi ekonomi berfungsi
sebagai lumbung bahan mentah
(raw material) dan tenaga kerja
(man power) yang tidak kecil
artinya.
Ketiga,
dari segi kegiatan kerja (occupation) desa dapat merupakan desa agraris, desa manufaktur, desa industri, desa nelayan,
dan sebagainya.
Desa-desa
di Jawa banyak berfungsi sebagai desa agraris. Beberapa desa di Jawa sudah dapat pula menunjukkan
perkembangan-perkembangan yang
baru, yaitu dengan timbulnya
industri-industri kecil di
daerah pedesaan dan rnerupakan
"rural industries".
Masyarakat desa
perkebunan adalah produsen
komoditi untuk ekspor. Peranan mereka untuk
meningkatkan volume dan
kualitas komoditi seperti kelapa sawit,
lada, kopi, teh, karet, dan
sebagainya tidak kalah pentingnya
dilihat dari segi usaha untuk
meningkatkan ekspor dan memperoleh devisa yang
diperlukan sebagai dana
guna mempercepat proses
pembangunan. Peningkatan hasil dari
ekspor komoditi non
minyak berarti mengurangi ketergantungan kita
dari hasil ekspor
minyak, yang pada
gilirannya akan memperkuat ketahanan
ekonomi dalam rangka
pembinaan ketahanan nasional.
Dalam keputusan
itu an tara lain dikatakan bahwa
desa secara keseluruhan merupakan landasan
ketahanan nasional dan
perlu memiliki suatu
lembaga desa sebagai wadah
partisipasi masyarakat dalam
rangka pembangunan desa yang
menyeJuruh dan terpadu. Lembaga
demikian harus mampu
merencanakan dan
melaksanakan
pembangunan di desa
sehingga dapat mewujudkan ketahanan desa
yang mantap.
Desa biasanya
didiami oleh beberapa
ribu orang saja,
yang sebagian besar masih
keluarga/kerabat. Maka
sering kita jumpai
bahwa satu desa tersebut merupakan
satu saudara semua/kerabat. Untuk
mengatur hubungan
kekeluargaan menjadi lebih
de kat, maka kerabat
yang strukturnya sudah
jauh dikawinkan dengan keturunannya. Hal
ini disebabkan juga
oleh cakrawala pandangan orang
desa/hubungan orang desa
yang relatif terbatas.
Bagi desa yang subur,
biasanya jumlah penduduknya padat
misalnya : desa-desa
di pulau Jawa, Madura,
dan Bali. Hal
ini terjadi karena
banyaknya pendatang baru desa
lain di sekelilingnya. Dengan
pol a perkembangan penduduk
di desa seperti di
atas, pada umumnya
masyarakat desa merupakan
masyarakat yang homogen.
Hubungan sosial
pada masyarakat desa
terjadi secara kekeluargaan, dan jauh
menyangkut masalah-masalah pribadi.
Satu dengan yang
lain mengenal secara rap at,
menghayati secara mendasar.
Suka atau duka
yang dirasakan oleh salah
satu anggota akan
dirasakan oleh seluruh
anggota. Pertemuan
pertemuan dan kerja sarna untuk
kepentingan sosiallebih diutamakan
daripada kepentingan
individu. Segala kehidupan
sehari-hari diwarnai dengan
gotong royong. Misalnya mendirikan
rumah, mengerjakan sawah,
menggali sumur, maupun melayat
orang meninggal.
Tetapi di
lain pihak pengendalian so sial
teras a sangat ketat,
sehingga perkembangan
jiwa individu sulit
untuk dilaksanakan. Keadaan
demikian
berjalan terus
menerus dan sulit
untuk mengadakan perubahan. Jalan
pikiran yang kolot, tidak
ekonomis yang sudah
menjadi tradisi juga
sulit untuk diubah, walaupun pandangan-pandangan tersebut
sebenarnya tidak dapat
diterima oleh akal pikiran
man usia. Sehingga bilamana
seorang anggota masyarakat
desa yang bersangkutan tidak
melaksanakan sesuatu yang
sudah menjadi tradisi desa
tersebut, dinyatakan salah
dan dikucilkan.
Kehidupan keagamaan
(magis religius) berlangsung
sangat kuat dan serius.
Semua kehidupan dan
tingkah laku dijiwai
oleh agama, hal
ini disebabkan cara berpikir
masyarakat desa yang
kurang rasional. Misalnya
: suku bangsa Tengger, suku
bangs a Jawa dan Bali.
Pad a masyarakat desa
(Jawa), sering dilakukan upacara-upacara keagamaan untuk
minta hujan, minta
rejeki, minta selamat dan
sebagainya. Pada acara-acara
tertentu tidak lepas
dari upacara keagamaan pula,
misalnya : pada waktu
mendirikan rumah, melahirkan
anak, memetik panen, mengawinkan anaknya
dan sebagainya. Semua
dilakukan dengan mengadakan sesaji
tertentu, sehingga apa
yang mereka maksud
dapat tercapai.
Perhatian pada kesehatan, kebersihan lingkungan, maupun perhitungan ekonomis
kurang, asalkan pandangan
menurut agama dan
ad at positif, cara demikianlah
yang dipilihnya.
Perkembangan teknologi pada
masyarakat desa terjadi
sangat larnban, semua berjalan
sangat tradisional. Barang-barang hasil
produksinya adalah barang pertanian
maupun barang kerajinan,
yang semuanya terse but dikerjakan secara tradisional. Hasil
teknologi modern yang
masuk ke daerahlpedesaan
hanyalah barang-barang konsumsi (TV,
Radio, Tape recorder,
dan lain sebagainya). Sedang
barang-barang modal at au
barang antara (Mesin,
dan lain-lain), belum dapat
dimanfaatkan dengan baik.
Hal ini mengingat
situasi dan kon disi-kondisi daerah
pedesaan di Indonesia
ini belum mengijinkan.
Dari uraian
di atas, maka secara
singkat ciri-ciri masyarakat
pedesaan di
Indonesia pada
umumnya dapat disimpulkan
sebagai beriktu :
(1) Homogenitas Sosial
Bahwa masyarakat
desa pada umumnya
terdiri dari satu
atau beberapa kekerabatan saja,
sehingga pola hidup
tingkah laku maupun
kebudayaan samalhomogen.
Oleh karen a itu hidup
di desa biasanya
terasa tenteram am an dan tenang.
Hal ini disebabkan
oleh pola pikir,
pola penyikap dan pola
pandangan yang sama
dari setiap warganya
dalam menghadapi suatu masalah. Kebersamaan, kesederhanaan keserasian dan
kemanunggalan
selalu menjiwai
setiap warga masyarakat
desa tersebut.
(2) Hubungan
Primer
Pada masyarakat desa
hubungan kekeluargaan dilakukan secara musyawarah. Mulai
masalah-rnasalah
umum/masalah bersama sampai masalah pribadi.
Anggota masyarakat satu
dengan yang lain
saling men genal secara intim.
Pada masyarakat desa
masalah kebersamaan dan gotong
royong sangat diutamakan,
walaupun secara materi
mungkin sangat kurang atau
tidak mengijinkan.
(3) Kontrol
Sosial yang Ketat
Di
atas dikemukakan bahwa
hubungan pad a masyarakat pedesaan
sangat intim dan diutamakan, sehingga
setiap anggota masyarakatnya saling mengetahui masalah
yang dihadapi anggota
yang lain. Bahkan
ikut mengurus terlalu jauh
masalah dan kepentingan
dari anggota masyarakat yang lain.
Kekurangan dari salah
satu anggota masyarakat, adalah merupakan kewajiban anggota yang
lain untuk menyoroti dan membenahinya.
(4) Gotong
Royong
Nilai-nilai gotong
royong pada masyarakat
pedesaan tumbuh dengan
subur dan membudaya. Semua
masalah kehidupan dilaksankaan secara
gotong royong, baik dalam
arti gotong royong
murni maupun gotong
royong
timbal balik.
Gotong royong murni
dan sukarela misalnya :
melayat, mendirikan rumah dan
sebagainya. Sedangkan gotong
royong timbal balik misalnya :
mengerjakan sawah, nyumbang dalam
hajat tertentu dan sebagainya.
(5) Ikatan
Sosial
Setiap anggota
masyarakat desa diikat
dengan nilai-nilai adat
dan kebudayaan secara ketat.
Bagi anggota yang
tidak memenuhi norma
dan kaidah yang sudah
disepakati, akan dihukum
dan dikeluarkan dari
ikatan sosial dengan cara
mengucilkan/memencilkan.
Oleh karena itu
setiap anggota harus patuh
dan taat melaksanakan
aturan yang ditentukan.
Lebih lebih bagi anggota
yang baru datang,
ia akan diakui
menjadi anggota masyarakat tersebut
(ikatan sosial tersebut).
(6) Magis
Religius
Kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha
Esa bagi masyarakat
desa sangat mendalam. Bahkan
setiap kegiatan kehidupan
sehari-hari dijiwai bahkan diarahkan kepadanya. Sering
kita jumpai orang
Jawa mengadakan
selamatan-selamatan untuk meminta
rezeki, minta perlindungan, minta diampuni dan
sebagainya.
(7) Pola
Kehidupan
Masyarakat desa
bermata pencaharian di bidang
agraris, baik pertanian, perkebunan, perikanan
dan peternakan. Pada
umumnya setiap anggota hanya mampu
rnelaksanakan salah satu
bidang kehidupan saja.
Misalnya para petani, bahwa
pertanian merupakan satu-satunya pekerjaan yang harus ia
tekuni dengan baik.
Bilamana bidang pertanian tersebut kegiatannya kosong,
maka ia hanya menunggu
sampai ada lagi
kekgiatan di bidang pertanian.
Di samping
itu dalam mengolah
pertanian semata-mata tetap/tidak ada perubahan
atau kemajuan. Hal
ini disebabkan
pengetahuan dan
keterampilan para petani
yang masih kurang
memadai. Olah karena itu
masyarakat desa sering
dikatakan masyarakat yang
statis dan monoton.
5. URBANISASI
DAN URBANISME
Urbanisasi adalah
suatu proses berpindahnya penduduk
dari desa ke
kota atau dapat pula
dikatakan bahwa urbanisasi
merupakan proses terjadinya masyarakat perkotaan. Proses urbanisasi
boleh dikatakan terjadi
di seluruh dunia,
baik pada negara-negara yang
sudah maju industrinya
mupun yang secara
relatif belum memiliki industri.
Bahwa urbanisasi mempunyai
akibat-akibat yang negatif terutama dirasakan
oleh negara yang
agraris seperti Indonesia
ini. Hal ini terutama
disebabkan karena pada
umumnya produksi pertanian
sangat rendah apabila dibandingkan dengan
jumlah manusia yang
dipergunakan dalam
produksi tersebut dan
boleh dikatakan bahwa
faktor kebanyakan penduduk dalam suatu
daerah
"over-population"
merupakan gejala yang
umum di negara agraris yang
secara ekonomis masih
terbelakang.
Proses urbansiasi
dapat terjadi dengan
lambat maupun cepat,
hal mana tergantung daripada
keadaan masyarakat yang
bersangkutan. Proses tersebut terjadi dengan
menyangkut dua aspek,
yaitu :
-
perubahannya masyarakat desa
menjadi masyarakat kota
-
bertambahnya penduduk
kota yang disebabkan oleh mengalirnya penduduk yang berasal
dari desa-desa (pada
umumnya disebabkan karena
penduduk desa merasa tertarik
oleh keadaan di
kota).
Sehubungan dengan proses
tersebut di atas,
maka ada beberapa
sebab yang mengakibatkan suatu
daerah tempat tinggal
mempunyai penduduk yang baik.
Artinya adalah, sebab
suatu daerah mempunyai
daya tarik sedemikian rupa, sehingga
orang-orang pendatang semakin
banyak. Secara umum
dapat dikatakan bahwa sebab-sebabnya adalah
sebagai berikut :
1) Daerah
yang term as uk menjadi pusat
pemerintahan atau menjadi
ibukota
(seperti contohnya
Jakarta).
2) Tempat tersebut
letaknya sangat strategis
sekali untuk usaha-usaha perdagangan/perniagaan, seperti misalnya
sebuah kota pelabuhan
atau sebuah kota yang letaknya
dekat pada sumber-sumber atau bahan-bahan mentah.
3) Timbulnya industri
di daerah itu,
yang memproduksikan barang-barang maupun jasa-jasa.
Persekutuan hidup
yang paling kecil
dimulai saat manusia primitif
mencari makan, yaitu dengan
berburu, sebagai migrator,
nomad berjumlah 10·300 orang. Kenyataan ini
disesuaikan dengan persediaan makanannya, berkembangnya cara
bertani menyebabkan lahirnya
suatu persekutuan hidup permanen pada
suatu tempat,
kampung, babakan, dengan
sifat yang khas, yaitu
: (a) kekeluargaan, (b)
adanya kolektivitas dalam
pembagian tanah dan pengerjaannya (c) ada
kesatuan ekonomis yang
memenuhi kebutuhan sendiri. Persekutuan hidup
ini akan berubah dengan
berkembangnya sistem kapitalisme dan masyarakat
industri, artinya dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut
Koentjaraningrat, suatu masyarakat
desa menjadi suatu
persekutuan hidup
dan kesatuan sosial
didasarkan atas dua
macam prinsip :
a.
|
prinsip
|
hubungan
|
kekerabatan (geneologis),
|
b.
|
prinsip
|
hubungan
|
tinggal
dekat/teritorial.
|
Prinsip ini
tidak lengkap apabila
yang mengikat adanya
aktivitas tidak
diikutsertakan, yaitu :
a. tujuan
khusus yang ditentukan
oleh faktor ekologis,
b. prinsip
yang datang dari
"atas" oleh aturan
dan undang-undang.
Lingkungan hubungan
yang ditentukan oleh
berbagai prinsip tersebut hubungannya saling
terjaring, yang batas-batasnya berbeda-beda: mungkin dengan pola
konsentris, artinya hubungan
tiap individu dimulai
dengan lingkungan kecil
mencakup kerabat dan tetangga
dekat, atau dengan hubungan terjaring dengan
pola terkupas, di
mana orang bergaul
untuk suatu lapangan kehidupan dalam
batas lingkungan sosial
tertentu, tetapi termasuk-tidak termasuk warga
dan lingkungan tadi.
Dalam pola ini mungkin
terjadi prinsip
hubungan tempat
tinggal dekat, kebutuhan
khusus, ekologi, atau
kekerabatan.
6.
PERBEDAAN MASYARAKAT PEDESAAN DENGAN MASYARAKAT PERKOTAAN
Masyarakat kota
ditekankan dari pengertian
kotanya dengan ciri dan
sifat kehidupannya serta kekhasan
dalam interes hidupnya.
Dalam masyarakat kata kebutuhan primer
dihubungkan dengan status
sosial dan gaya
hidup masa kini sebagai
manusia modern.
Masyarakat pedesaan
maupun masyarakat perkotaan
masing-masing dapat
diperlakukan sebagai sistem
jaringan hubungan yang
kekal dan penting,
serta dapat pula dibedakan
masyarakat yang bersangkutan dengan
masyarakat yang lain. Oleh
karena itu, mempelajari
suatu masyarakat berarti
dapat berbicara soal struktur
sosial. Untuk menjelaskan perbedaan
at au ciri-ciri dari
kedua masyarakat tersebut, dapat
ditelusuri dalam hal
lingkungan umumnya dan orientasi terhadap
alam, pekerjaan, ukuran
kornunitas, kepadatan penduduk, homogenitas-heterogenitas, diferensiasi sosial,
pelapisan sosial, mobilitas sosial, interaksi
sosial, pengendalian sosial,
pola kepemimpinan, ukuran kehidupan, solidaritas sosial,
dan nilai atau
sistem nilainya.
1. LlNGKUNGAN UMUM DAN ORIENTASI TERHADAP ALAM
Masyarakat pedesaan
berhubungan kuat dengan
alam, disebabkan oleh lokasi
geografinya di daerah desa.
Mereka suI it "mengontrol" kenyataan
alam yang dihadapinya, padahal
bagi petani realitas
alam ini sang at
vital dalam menunjang kehidupannya.
Penduduk yang
tinggal di desa akan
banyak ditentukan oleh
kepercayaan kepercayaan dan
hukum-hukum alam, seperti
dalam pola berpikir
dan falsafah hidupnya. Tentu
akan berbeda dengan
penduduk yang tinggal
di kota, yang kehidupannya "bebas" dari
realitas alam, Misalnya
dalam bercocok tanah dan
menuai harus pad a waktunya, sehingga
ada kecenderungan nrimo, Padahal mata
pencaharian juga menentukan
relasi dan reaksi
sosial.
2. PEKERJAAN ATAU MATA PENCAHARIAN
Pada umumnya
atau kebanyakan mata pencaharian
daerah pedesaan adalah bertani. Tetapi
mata pencaharian berdagang (bidang
ekonomi) pekerjaan
sekunder dari pekerjaan
yang nonpertanian. Sebab
beberapa daerah pertanian tidak lepas
dari kegiatan usaha (business)
atau industri, demikian pula
kegiatan mata pencaharian keluarga untuk
tujuan hidupnya lebih
luas lagi. Di masyarakat kota
mata pencaharian cenderung
menjadi terspesialisasi, dan spesialisasi itu
sendiri dapat dikembangkan, mungkin
menjadi manajer suatu perusahaan, ketua
atau pimpinan dalam
suatu birokrasi. Sebaliknya seorang
petani harus
kompeten dalam bermacam-macam keahlian seperti
keahlian memelihara tanah, bercocok
tanam, penyakit, pemasaran, dan
sebagainya. Jadi, petani keahliannya lebih
luas bila dibandingkan dengan
masyarakat kota.
3. UKURAN KOMUNITAS
Komunitas pedesaan
biasanya lebih kecil dari komunitas perkotaan.
Dalam mata pencaharian di bidang
pertanian, imbangan tanah
dengan manusia cukup tinggi bila
dibandingkan dengan industri;
dan akibatnya daerah
pedesaan mempunyai penduduk yang
rendah per kilometer perseginya.
Tanah pertanian luasnya bervariasi. Bergantung kepada
tipe usaha taninya,
tanah yang cukup luasnya sanggup menampung usaha tani dan usaha ternak sesuai dengan
kemampuannya. Oleh sebab
itu komunitas pedesaan
lebih kecil daripada komunitas perkotaan.
4. KEPADATAN PENDUDUK
Penduduk desa
kepadatannya lebih rendah
bila dibandingkan dengan kepadatan penduduk kota. Kepadatan penduduk suatu komunitas kenaikannya berhubungan dengan
klasifikasi dari kota
itu sendiri. Contohnya dalam perubahan-perubahan permukiman, dari
penghuni satu keluarga
(individual family) menjadi pembangunan
multikeluarga dengan flat dan apartemen seperti yang
terjadi di kota.
5. HOMOGENITAS DAN HETEROGENITAS
Homogenitas atau persamaan dalam
ciri-ciri sosial dan psikologis, bahasa, kepercayaan, adat-istiadat, dan
perilaku sering nampak
pada masyarakat pedesaan bila dibandingkan dengan
masyarakat perkotaan. Kampung-kampung bagian dari
suatu masyarakat desa
mengenai minat dan
pekerjaannya hampir sama. sehingga
kontak tatap muka
lebih sering. Di
kota sebaliknya,
penduduknya heterogen, terdiri
dari orang-orang dengan
macam-macam subkultur dan kesenangan,
kebudayaan, mata pencaharian. Sebagai
contoh, dalam perilaku, dan
juga bahasa, penduduk
di kota
lebih heterogen. Hal
ini karena daya tarik
dari mata pencaharian, pendidikan, komunikasi, dan transportasi, menyebabkan kota
menarik orang-orang dari berbagai kelompok etnis untuk
berkumpul di kota.
6. DIFERENSIASI SOSIAL
Keadaan heterogen
dari penduduk kota
berindikasi pentingnya derajat yang tinggi di dalam
diferensiasi sosial. Fasilitas kota,
hal-hal yang berguna, pendidikan, rekreasi, agama, bisnis, dan fasilitas peru
mahan (tempat tinggal), menyebabkan terorganisasi-nya berbagai keperluan, adanya pembagian
pekerjaan, dan adanya saling membutuhkan serta saling tergantung. Kenyataan ini
bertentangan dengan bagian-bagian
kehidupan di masyarakat pedesaan. Tingkat homogenitas alami ini cukup
tinggi, dan relatif berdiri sendiri dengan derajat yang rendah
daripada diferensiasi sosial.
7. PELAPISAN SOSIAL
Klas sosial
di dalam masyarakat sering
nampak dalam perwujudannya seperti "piramida sosial", yaitu klas-klas yang tinggi
berada pada posisi atas piramida, klas menengah ada di antara kedua tingkat
klas eksterm dari masyarakat.
Ada
beberapa perbedaan "pelapisan sosial tak resmi" ini antara masyarakat
desa dan masyarakat kota:
a. Pada masyarakat kota aspek kehidupan pekerjaan, ekonomi, atau sosial
politik lebih banyak
sistem pelapisannya
dibandingkan dengan di desa.
b. Pad a
masyarakat desa kesenjangan
(gap) antara klas
eksterm dalam piramida sosial tidak
terlalu besar, sedangkan pada masyarakat kota jarak antara klas eksterm yang
kaya dan miskin cukup besar. Di daerah pedesaan tingkatannya hanya kaya dan miskin saja.
c. Pada
umumnya masyarakat pedesaan
cenderung berada pada
klas menengah menu rut ukuran
desa, sebab orang
kay a dan orang miskin sering bergeser ke kota. Kepindahan orang miskin
ini disebabkan tidak
mempunyai tanah, mencari
pekerjaan ke kota,
atau ikut transmigrasi. Apa yang
dibutuhkan dan diinginkan
dari golongan miskin
ini sering desa tidak mampu mengatasinya.
d. Ketentuan kasta dan contoh-contoh perilaku
yang dibutuhkan sistem kasta tidak banyak terdapat, tetapi di Indonesia,
khususnya di Bali, ada ketentuan klas ini. Dalam kitab-kitab suci orang Bali, masyarakat terbagi ke dalam
empat lapisan, yaitu Brahmana, Satria,
Vesia, dan Sudra. Ketiga lapisan yang tersebut pertama menjadi satu dengan
istilah Triwangsa, berhadapan dengan
yang disebut Jaba
untuk lapisan keempat,
yang hanya bagian terkecil dari seluruh masyarakat Bali,
baik di kota maupun di desa. Lapisan
Triwangsa berhak
memakai gelar-gelar di
depan namanya, seperti
untuk
Brahmana untuk Satria untuk Vesia
Sedangkan
untuk Sudra
Ida Bagus
(bagi pria);
Cokorda. Dewa,
Ngakan, dan Bagus; I Gusti dan
Gusti;
Pande, Kbon,
Pasek, Pulasari, Parteka,
Sawan, dan
lain-lain.
Gelar-gelar terse but diwariskan secara
partrilineal. Mereka tinggal
bersama di desa atau di kota
dengan cara-cara dan
gaya hidup yang
sama, bergaul erat satu dengan lainnya.
Gelar tidak ada sangkut-pautnya dengan
mata pencaharian (Koencaraningrat,
1981).
Gambaran sistem
klas di atas mungkin hanya berlaku
bagi desa yang masih
"asli". Dalam kenyataan, desa sekarang (terutama di Jawa) sudah
banyak mengalami perubahan. "Lapisan
sosial tak resmi"
sekarang muncul dalam sebutan
yang kabur seperti
kaum atasan, kaum terpelajar (intelektual). golongan menengah, orang
bertitel, orang kaya, kaum rendahan (wong cilik), para pegawai tinggi
(priyayi), orang kampung, dan sebagainya, dan di belakang sebutan serupa itu
dalam alam pikiran masyarakat terkandung asosiasi dengan kedudukan tinggi
atau rendah. Tinggi-rendah
tentang pelapisan sosial
tak resmi ini, untuk setiap warga masyarakat, tentu tidak selalu sama. Beberapa contoh di
masyarakat perbedaan pelapisan
sosialnya banyak ditentukan atas dasar pemilikan tanah. Misalnya :
a. Menurut
Ter Haar (1960) dibedakan
menurut :
1) golongan
pribumi pemilik tanah (sikep, kuli, baku, atau gogol);
2) golongan yang hanya memiliki rumah dan
pekarangan saja, atau tanah pertanian
saja (indung atau lindung):
3) golongan yang hanya memiliki rumah saja
di atas tanah pekarangan orang lain, dan mencari nafkah
sendiri (numpang).
b. Menurut
M. Jaspan (1961), di daerah
Yogyakarta dibedakan menurut
:
1) golongan yang memiliki tanah pekarangan dan
sawah (kuli kenceng);
2) golongan
yang memiliki tanah sawah saja
(kuli gundul);
3) golongan
yang memiliki pekarangan
saja (kuli karang kopel);
4) golongan yang memiliki rumah saja di
atas tanah orang lain (indung telosor).
c. Selanjutnya Koentjaraningrat (1964) mengenal pelapisan yang
sedikit menggunakan kriteria campuran :
I) keturunan cikal
bakal desa dan
pemilik tanah (kentol);
2) pemilik
tanah di luar
golongan kentol (kuli):
3) yang
tak merniliki tanah.
d. Menurut J .M.
van der Kroef
(1956) dan C.B.
Tripathi (1957), dibedakan menurut :
I
) Lapisan pertama
adalah golongan elit desa,
yaitu penguasa desa
yang menguasai tanah bengkok,
bersama golongan pemilik
tanah yasan.
2) Lapisan kedua
adalah kuli kenceng,
yaitu mereka yang
mempunyai rumah sendiri, pekarangan sendiri,
dan menguasai bagian
sawah komunal.
3) Lapisan ketiga
adalah kuli kendo.
yaitu mereka yang
mempunyai rumah dan pekarangan sendiri,
tetapi belum mempunyai bagian sawah.
4) Lapisan herikutnya
adalah rnereka yang
memiliki tanah pertanian, tetapi tidak
memiliki rumah dan
pekarangan yang dengan
istilah seternpat disebut gundul
(tetapi jumlah lapisan
ini sangat kecil).
5) Lapisan di
bawahnya lagi adalah
mereka yang tidak
mempunyai tanah pertanian, tidak
mempunyai pekarangan, tetapi
mempunyai rurnah sendiri yang
didirikan di atas pekarangan
orang lain, disebut magersan. Sebagian
besar bekerja sebagai
buruh tani.
6) Lapisan terbawah
adalah mereka yang
sarna sekali tak
memiliki apapun kecuali tcnaganya. Mereka
hidup bersama majikannya. Golongan ini
disebut mondok-ernpok, bujang,
tlosor, atau dengan istilah seternpat
lain.
Kedua lapisan
terbawah itulah yang
merupakan buruh tani
dalam arti kata sebenarnya.
Oi antara lapisan-lapisan terse but
terdapat berbagai lapisan dengan ciri
peralihan atau ciri-ciri
campuran, yang bersama-sama dengan keragaman istilahnya membentuk
suatu pola rumit
hubungan penguasaan tanah.
Istilah dari
daerah ke daerah berbeda,
dan kriteria berkisar
sekitar milik tanah pertanian atau
pekarangan, dan
juga rumah. Studi-studi yang
menggambarkan pelapisan di
daerah perkotaan masih
sedikit sekali, tetapi pada
umumnya kriteria yang
diterapkan adalah pendapatan
dan kekayaan, jadi de kat
dengan pengertian klas
menurut Weber. Ada
pendekatan lain oleh orang
asing yang berusaha
menerapkan kombinasi antara
kriteria, seperti
kekuasaan politik dan
kekuasaan ekonomi. Akan
tetapi hal-hal seperti
ini dirasakan terlalu peka.
8. MOBILITAS
SOSIAL
Mobilitas
sosial berkaitan dengan perpindahan atau pergerakan suatu kelompok sosial
ke kelompok sosial
lainnya; mobilitas kerja
dari suatu pekerjaan ke pekerjaan
lainnya; mobiltias teritorial dari daerah desa ke kota, dari kota ke desa, atau
di daerah desa dan kota sendiri.
Terjadinya
peristiwa mobilitas sosial demikian disebabkan oleh penduduk kota yang
heterogen, terkonsentrasinya
kelembagaan-kelembagaan, saling
tergantungnya
organisasi-organisasi, dan
tingginya diferensiasi sosial.
Demikian
pula di kota. Maka mobilitas sering terjadi di kota dibandingkan dengan di
daerah pedesaan. Mobilitas teritorial (wilayah) di kota lebih sering ditemukan
daripada di daeraha pedesaan, dan segi-segi penting dari mobilitas
tersebut adalah :
a. Banyak penduduk yang pindah kamar atau rumah ke kamar atau
rumah lain, karena sistem
kontrak yang terdapat
di kota; dan
di desa tidak demikian.
b. Waktu
yang tersedia bagi
penduduk kota untuk
berpergian per satuan penduduk lebih banyak
dibandingkan dengan orang-orang
desa.
c. Berpergian setiap
hari di dalam
atau di luar dan
pusat penduduk, di daerah
kota lebih besar dibandingkan
dengan penduduk di desa.
d. Waktu
luang di kota
lebih sedikit dibandingkan dengan
di daerah pedesaan, sebab mobilitas penduduk
kota lebih tinggi.
Hal lain,
mobilitas atau peripindahan
penduduk dari desa
ke kota (urbanisasi) lebih banyak ketimbang dari kota ke desa. Tipe desa pertanian
dan kebiasaan pindah
mempengaruhi mobilitas sosial,
seperti perpindahan yang
berkaitan dengan mencari kerja, ada yang menetap atau tinggal sementara, sesuai
dengan musim dan waktu pengolahan pertanian. Apabila dibandingkan, penduduk
kota lebih dinamis dan mobilitasnya cukup tinggi. Kesemuanya berbeda dalam hal
waktu dan arah mobilitasnya.
Pergerakannya dapat terjadi
secara bertahap,
baik arahnya secara
horizontal ataupun vertikal.
Kebiasaan ini di desa
kurang terlihat, dan
di kota lebih
memungkinkan dengan waktu yang
relatif singkat.
9. INTERAKSI SOSIAL
Tipe interaksi
sosial di desa dan di kota perbedaannya
sangat kontras, baik aspek
kualitasnya maupun kuantitasnya. Perbedaan
yang penting dalam interaksi
sosial di daerah pedesaan dan perkotaan, di antaranya
:
a. Masyarakat
pedesaan lebih sedikit
jumlahnya dan tingkat
mobilitas sosialnya rendah, maka kontak pribadi per individu lebih
sedikit. Demikian pula kontak melalui
radio, televisi, majalah,
poster, koran, dan
media lain yang lebih
sophisticated.
b. Dalam kontak sosial berbeda secara
kuantitatif maupun secara kualitatif.
Penduduk kota
lebih sering kontak,
tetapi cenderung formal
sepintas lalu, dan tidak
bersifat pribadi (impersonal),
tetapi melalui tugas
atau kepentingan yang lain. Di desa kontak sosial terjadi lebih banyak
dengan tatap muka, ramah-tamah
(informal), dan pribadi.
Hal yang lain
pada masyarakat pedesaan, daerah jangkauan kontak sosialnya biasanya
terbatas dan sempit. Di kota kontak sosial lebih tersebar pada daerah yang luas, melalui perdagangan, perusahaan,
industri, pemerintah, pendidikan, agama, dan sebagainya. Kontak
sosial di kota penyebabnya
bermacam macam dan bervariasi
bila dibandingkan dengan
"dunia kecil" atau masyarakat pedesaan.
10.
PENGAWASAN SOSIAL
Tekanan
sosial oleh masyarakat di pedesaan lebih kuat karena kontaknya yang bersifat
pribadi dan ramah-tamah (informal), dan keadaan masyarakatnya yang homogen.
Penyesuaian terhadap norma-norma sosiallebih
tinggi dengan tekanan sosial yang informal, dan nantinya dapat berarti sebagai
pengawasan sosial. Di kota
pengawasan sosial lebih
bersifat formal, pribadi,
kurang "terkena" aturan
yang ditegakkan, dan peraturan lebih menyangkut masalah pelanggaran.
11.
POLA KEPEMIMPINAN
Menentukan kepemimpinan
di daerah pedesaan cenderung
banyak ditentukan oleh kualitas
pribadi dari individdu
dibandingkan dengan kota.
Keadaan ini
disebabkan oleh lebih
luasnya kontak tatap
muka, dan individu lebih banyak
saling mengetahui daripada
di daerah kota.
Misalnya karena kesalehan, kejujuran,
jiwa pengorbanannya, dan pengalamannya. Kalau kriteria ini melekat
terus pada generasi
selanjutnya, maka kriteria
keturunan pun akan menentukan
kepemimpinan di pedesaan.
12.
STANDAR KEHIDUPAN
Berbagai alat
yang menyenangkan di
rumah, keperluan masyarakat, pendidikan, rekreasi,
fasilitas agama, dan
fasilitas lain akan
membahagiakan kehidupan
bila disediakan dan
cukup nyata dirasakan
oleh penduduk yang jumlahnya padat.
Di kota, dengan
konsentrasi dan jumlah
penduduk yang padat, tersedia
dan ada kesanggupan
dalam menyediakan kebutuhan
tersebut, sedangkan di desa terkadang
tidak demikian. Orientasi
hidup dan pola
berpikir masyarakat desa yang
sederhana dan standar
hidup demikian kurang
mendapat perhatian.
13.
KESETIAKAWANAN SOSIAL
Kesetiakawanan sosial
(social solidarity) atau
kepaduan dan kesatuan, pada masyarakat
pedesaan dan masyarakat
perkotaan banyak ditentukan
oleh masing-masing faktor yang
berbeda. Pada masyarakat
pedesaan kepanduan dan kesatuan
merupakan akibat dari
sifat-sifat yang sarna,
persamaan dalam
pengalaman, tujuan yang
sarna, di mana
bagian dari masyarakat
pedesaan hubungan
pribadinya bersifat informal
dan tidak bersifat
kontrak sosial
(perjanjian). Pada masyarakat
pedesaan ada kegiatan tolong-menolong (gotong royong) dan
musyawarah, yang pada
saat sekarang masih
dirasakan meskipun banyak pengaruh
dari gagasan ideologis
dan ekonomis (padat
karya) ke pedesaan. Kesatuan
dan kepaduan di daerah
perkotaan berbeda.
14.
NILAI DAN SISTEM NILAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar